MATERI 4 : LANDASAN PSIKOLOGIS PENGEMBANGAN KURIKULUM
Pendidikan senantiasa berkaitan dengan perilaku manusia. Dalam setiap
proses pendidikan terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya,
baik lingkungan yang bersifat fisik maupun lingkungan sosial. Melalui
pendidikan diharapkan adanya perubahan perilaku peserta didik menuju
kedewasaan, baik dewasa dari segi fisik, mental, emosional, moral, intelektual,
maupun sosial. Harus diingat bahwa walaupun pendidikan dan pembelajaran adalah
upaya untuk mengubah perilaku manusia, akan tetapi tidak semua perubahan
perilaku manusia/peserta didik mutlak sebagai akibat dari intervensi program pendidikan. Dalam proses pendidikan terjadi interaksi antar-individu, yaitu
antara peserta didik dengan pendidik dan juga antara peserta didik dengan
orang-orang yang lainnya. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya seperti
binatang, benda dan tumbuhan karena salah satunya yaitu kondisi psikologis yang
dimilikinya. Benda dan tanaman tidak mempunyai aspek psikologis. Sedangkan
binatang tidak memiliki taraf psikologis yang lebih tinggi dibanding manusia
yang juga memiliki akal sebagai titik pembeda di antara keduanya.
Kondisi
psikologis merupakan “karakteristik
psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk
prilaku dalam interaksi dengan lingkungan”. Perilaku-perilakunya merupakan manifestasi
dari ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, prilaku
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pengembangan
kurikulum harus dilandasi oleh asumsi-asumsi yang berasal dari psikologi yang
meliputi kajian tentang apa dan bagaimana perkembangan peserta didik, serta
bagaimana peserta didik belajar. Atas dasar itu terdapat dua cabang psikologi
yang sangat penting diperhatikan dan besar kaitannya dalam pengembangan
kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
Perubahan perilaku peserta didik dipengaruhi oleh faktor kematangan dan
faktor dari luar program pendidikan atau lingkungan. Kurikulum sebagai alat
untuk mencapai tujuan/program pendidikan, sudah pasti berhubungan dengan proses
perubahan perilaku peserta didik. Kurikulum diharapkan dapat menjadi alat untuk
mengembangkan kemampuan potensial menjadi kemampuan aktual peserta didik serta
kemampuan-kemampuan baru yang dimiliki dalam waktu yang relatif lama.
Pengembangan kurikulum harus dilandasi oleh asumsi- asumsi yang berasal
dari psikologi yang meliputi kajian tentang apa
dan bagaimana perkembangan peserta didik, serta bagaimana peserta didik
belajar. Atas dasar itu terdapat dua cabang psikologi yang sangat penting
diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan
psikologi belajar. Psikologi perkembangan
dapat diartikan sebagai berikut, "Psikologi
perkembangan merupakan cabang dari psikologi yang mempelajari proses perkembangan
individu, baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan
perilaku" (J.P. Chaplin, 1979). Sementara itu Ross Vasta, dkk. (1992)
mengemukakan bahwa psikologi perkembangan adalah "Cabang psikologi yang mempelajari perubahan tingkah laku dan
kemampuan sepanjang proses perkembangan individu dari mulai masa
konsepsi sampai mati". Pemahaman
tentang peserta didik sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Melalui
kajian tentang perkembangan peserta didik, diharapkan upaya pendidikan yang
dilakukan sesuai dengan karakteristik peserta didik, baik penyesuaian dari segi
kemampuan yang harus dicapai, materi atau bahan yang harus disampaikan, proses
penyampaian atau pembelajarannya, dan penyesuaian dari segi evaluasi
pembelajaran.
Dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar
(pendidikan), Syamsu Yusuf (2005:23), menegaskan bahwa penahapan perkembangan
yang digunakan sebaiknya bersifat elektif, artinya tidak terpaku pada suatu
pendapat saja tetapi bersifat luas untuk meramu dari berbagai pendapat yang
mempunyai hubungan yang erat. Atas dasar itu perkembangan individu sejak lahir
sampai masa kematangan dapat digambarkan melewati fase-fase berikut:
Setiap
tahap perkembangan memiliki karakteristik tersendiri, karena ada
dimensi-dimensi perkembangan tertentu yang lebih dominan dibandingkan dengan
tahap perkembangan lainnya. Atas dasar itu kita dapat memahami karakteristik
profil pada setiap tahapan perkembangannya.
Pemahaman tentang perkembangan peserta didik sebagaimana diuraikan di
atas berimplikasi terhadap pengembangan kurikulum, antara lain:
1) Setiap
peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat,
minat, dan kebutuhannya.
2) Di samping disediakan pelajaran yang sifatnya umum
(program inti) yang wajib dipelajari setiap anak di sekolah, juga perlu
disediakan pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak.
3) Lembaga pendidikan hendaknya menyediakan bahan ajar
baik yang bersifat kejuruan maupun akademik. Bagi anak yang berbakat di bidang
akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya.
4) Kurikulum memuat tujuan-tujuan yang mengandung aspek
pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan yang menggambarkan pribadi yang utuh
lahir dan batin.
Implikasi lain dari pemahaman tentang peserta didik terhadap proses
pembelajaran (actual curriculum)
dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Tujuan
pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat kepada perubahan
tingkah laku peserta didik.
2) Bahan/materi yang diberikan harus sesuai dengan
kebutuhan, minat, dan kebutuhan peserta didik sehingga hasilnya bermakna bagi mereka.
3) Strategi
belajar mengajar yang digunakan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak
4) Media
yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat anak.
5) Sistem evaluasi harus dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan.
PSIKOLOGI BELAJAR DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
Psikologi belajar merupakan suatu studi tentang bagaimana individu
belajar. Pembahasan tentang psikologi belajar erat kaitannya dengan teori
belajar. Pemahaman tentang teori-teori belajar berdasarkan pendekatan
psikologis adalah upaya mengenali kondisi objektif terhadap individu anak yang
sedang mengalami proses belajar dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan
menuju kedewasaannya. Pemahaman yang luas dan komprehensif tentang berbagai
teori belajar akan memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi para
pengembang kurikulum baik di tingkat makro maupun tingkat mikro untuk
merumuskan model kurikulum yang diharapkan.
Pendekatan terhadap belajar berdasarkan satu teori tertentu
merupakan asumsi yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaannya
berkaitan dengan aspek-aspek dan akibat yang kungkin ditimbulkannya. Sedikitnya
ada tiga jenis teori belajar yang berkembang dewasa ini dan memiliki pengaruh
terhadap pengembangan kurikulum di Indonesia pada khususnya. Teori belajar
tersebut adalah: (1) Teori psikologi kognitif (kognitivisme), (2) teori psikologi humanistic, dan (3) teori psikologi behavioristik.
Pemahaman tentang perkembangan peserta didik sebagaimana diuraikan di
atas berimplikasi terhadap pengembangan kurikulum, antara lain:
1) Setiap
peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat,
minat, dan kebutuhannya.
2) Di samping disediakan pelajaran yang sifatnya umum
(program inti) yang wajib dipelajari setiap anak di sekolah, juga perlu
disediakan pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak.
3) Lembaga pendidikan hendaknya menyediakan bahan ajar
baik yang bersifat kejuruan maupun akademik. Bagi anak yang berbakat di bidang
akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya.
4) Kurikulum memuat tujuan-tujuan yang mengandung aspek
pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan yang menggambarkan pribadi yang utuh
lahir dan batin.
Implikasi lain dari pemahaman tentang peserta didik terhadap proses
pembelajaran (actual curriculum)
dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Tujuan
pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat kepada perubahan
tingkah laku peserta didik.
2) Bahan/materi yang diberikan harus sesuai dengan
kebutuhan, minat, dan kebutuhan peserta didik sehingga hasilnya bermakna bagi mereka.
3) Strategi
belajar mengajar yang digunakan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
4) Media
yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat anak.
5) Sistem evaluasi harus dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan.
(Kognitivisme)
Teori psikologi kognitif dikenal dengan cognitif gestalt field. Teori belajar ini adalah teori insight.
Aliran ini bersumber dari Psikologi Gestalt Field. Menurut mereka belajar
adalah proses mengembangkan insight atau
pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu
menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada di lingkungan,
termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat belajar merupakan
perbuatan yang bertujuan, ekplorasi, imajinatif, dan kreatif. Pemahaman atau insight merupakan citra dari atau
perasaan tentang pola-pola atau hubungan.
To state it differently, insight is the sensed way through or solution
of problematic situation....we might say that an insight is a kind of
intelligent feel we get about a stiutatuin that permits us to continue to strive
actively to serve our purpose. (Bigge dan Hunt, 1980, hlm 293).
Teori belajar Goal Insight berkembang
dari psikologi configurationlism.
Menurut mereka, individu selalu bertujuan, diarahkan kepada pembentukan
hubungan dengan lingkungan. Belajar merupakan usaha untuk mengembangkan
pemahaman tingkat tinggi. Pemahaman yang bermutu tinggi (tingkat tinggi) adalah
pemahaman yang telah teruji, yang berisi kecakapan menggunakan suatu objek,
fakta, proses, ataupun ide dalam berbagai situasi. Pemahaman tingkat tinggi
memungkinkan seseorang bertindak cerdas, berwawasan luas, dan mampu memecahkan
berbagai masalah.
Teori belajar kognitif bersumber pada psikologi lapangan (field psychology), dengan tokoh utamanya
Kurt Lewin. Individu selalu berada dalam suatu lapangan psikologi yang oleh
Kurt Lewin disebut life space. Dalam
lapangan ini selalu ada tujuan yang ingin dicapai, ada motif yang mendorong
pencapaian tujuan adalah dan ada hambatan-hambatan yang harus diatasi.
Perbuatan individu selau terarah pada pencapaian sesuatu tujuan, oleh karena
itu sering dikatakan perbuatan individu adalah purposive. Apabila ia telah berhasil mencapai suatu tujuan maka
timbul tujuan yang lain yang ingin dicapai dan berada dalam life space baru.
Setiap orang berusaha mencapai tingkat perkembangan dan pemahaman yang terbaik
di dalam lapangan psikologisnya masing-masing. Lapangan psikologis terbentuk
oleh interelasi yang simultan dari orang-orang dan linkungan
psikologisnya didalam suatu situasi. Tingkah laku seseorang pada suatu saat
merupakan fungsi dari semua faktor yang ada yang saling bergantung pada\ yang
lain.
Istilah cognitive berasal
dari bahasa Latin „cognose” yang berarti mengetahui (to know). Aspek ini dalam teori belajar cognitive field berkenaan dengan bagaimana individu memahami
dirinya dan lingkungannya, bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan
pengenalannya serta berbuat terhadap lingkungannya. Bagi penganut cognitive field, belajar merupakan suatu
proses interaksi, dalam proses interaksi tersebut ia mendapatkan pemahaman baru
atau menemukan struktur kognitif lama. Dalam membimbing proses belajar, guru
harus mengerti akan dirinya dan orang lain, sebab dirinya dan orang lain serta
lingkungannya merupakan suatu kesatuan.
Para ahli psikologi kognitif yang memusatkan perhatian pada perubahan
dalam aspek kognisi, percaya bahwa belajar adalah suatu kegiatan mental
internal yang tidak dapat diamati secara langsung. Menurut teori ini cara
belajar orang dewasa berbeda dengan cara belajar anak, dimana cara belajar
orang dewasa lebih banyak melibatkan kemampuan kognitif yang lebih tinggi. Menurut Piaget (1954) cara-cara tertentu
berpikir yang dipandang sederhana oleh
orang dewasa tidak demikian sederhana dipandang oleh anak-anak. Untuk
menjelaskan proses belajar harus mempertimbangkan proses kognisi (pengetahuan)
yang turut ambil bagian selama proses
belajar berlangsung. Teori ini juga menyatakan bahwa satu unsur yang paling
penting dalam proses belajar adalah apa yang dibawa individu ke dalam situasi
belajar, artinya segala sesuatu yang telah kita ketahui sangat menentukan
keluasan pengetahuan dan informasi yang akan kita pelajari.
Teori belajar kognitif memandang manusia sebagai pelajar yang yang
aktif yang memprakarsai pengalaman, mencari dan mengolah informasi untuk
memecahkan masalah, mengorganisasi apa-apa yang telah mereka ketahui untuk
mencapai suatu pemahaman baru. Karena itu teori ini juga disebut teori
pengolahan informasi (information
processing theory). Piaget (1970) memperkenalkan empat faktor yang
mendasari seseorang membuat pemahaman, yaitu:
a. Kematangan,
yaitu saatnya seseorang siao melaksanakan suatu tugas perkembangan tertentu.
b. Aktivitas, adalah kemampuan untuk bertindak terhadap
lingkungan dan belajar darinya.
c. Pengalaman
sosial, proses belajar dari orang lain atau interaksi dengan orang-orang yang
ada di sekitar kita
d. Ekuilibrasi
adalah proses terjadinya perubahan-perubahan aktual dalam berpikir.
Para ahli psikologi kognitif memandang bahwa kemampuan kognisi
seseorang mengalami tahapan perkembangan. Tahap- tahap perkembangan kognitif
tersebut menggambarkan kemampuan berpikir seseorang sesuai dengan usianya.
Piaget (Woolfolk, 206:33) membagi tahapan perkembangan kognitif dari usia anak
sampai dewasa menjadi empat tahap sebagai berikut:
a. Tahap sensorimotor
(0-2 tahun), tingkah laku anak pada
tahap ini dikendalikan oleh perasaan dan aktivitas motorik. Anak belajar melalui inderanya dan dengan cara
memanipulasi benda- benda.
b. Tahap
praoperasional (2-7 tahun). Tahap ini dibagi ke dalam dua fase yaitu:
1) Subtahap fungsi
simbolik (2-4 tahun), adalah priode egosentris yang sesungguhnya, anak mampu mengelompokkan dengan cara yang
sangat sederhana
2) Subtahap fungsi
intuitif (4-7 tahun), anak secara perlahan mulai berpikir dalam bentuk kelas,
menggunakan konsep angka, dan melihat hubungan yang sederhana.
c.
Tahap operasi kongkrit (7-11 tahun), mampu memecahkan masalah kongkrit,
mengembangkan kemampuan untuk menggunakan dan memahami secara sadar operasi
logis dalam matematika, klasifikasi dan rangkaian.
d. Tahap operasi formal (11 tahun-dewasa), mampu memahami
konsep abstrak (kemampuan untuk berpikir tentang ide, memahami hubungan sebab
akibat, berpikir tentang masa depan, dan mengembangkan serta menguji hipotesis).
Berdasarkan tahapan perkembangan kognitif yang dikemukakan Piaget di
atas, kita dapat menyimpulkan bahwa cara berpikir anak prasekolah berbeda
dengan anak usia SD, demikian pula cara berpikir anak SD berbeda dengan cara
berpikir anak SLTP, SLTA. Karena itu teori perkembangan kognitif Piaget mengimplikasikan
bahwa proses belajar mengajar harus memperhatikan tahap perkembangan kognisi
anak. Ini berarti bahwa guru mempunyai peranan penting untuk menyesuaikan
keluasan dan kedalaman program belajar, menggunakan strategi pembelajaran,
memilih media dan sumber belajar
dengan tingkat perkembangan kognisi anak.
Berdasarkan teori perkembangan kognitif dari Piaget, guru mempunyai
peranan dalam proses belajar mengajar sebagai berikut:
a. Merancang program,
menata lingkungan yang kondusif, memilih materi pelajaran, dan mengendalikan
aktivitas murid untuk melakukan inkuiri dan interaksi dengan lingkungan.
b. Mendiagnosa tahap
perkembangan murid, menyajikan permasalahan kepada murid yang sejajar dengan
tingkat perkembangannya.
c.
Mendorong perkembangan murid kea rah perkembangan
berikutnya dengan cara memberikan latihan, bertanya dan mendorong murid untuk
melakukan eksplorasi. (Y. Suyitno, 2007:101-102)
(Behavioristik)
Teori belajar behavioristik disebut juga Stimulus-Respon Theory (S-R). Kelompok ini mencakup tiga teori
yaitu S-R Bond, Conditioning, dan Reinforcement. Kelompok teori ini
berangkat dari asumsi bahwa anak atau individu tidak memiliki/membawa potensi
apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang
berasal dari lingkungan. Lingkunganlah yang membentuknya, apakah lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat; lingkungan manusia, alam, budaya, maupun religi.
Kelompok teori ini tidak mengakui sesuatu yang bersifat mental. Hasil belajar
adalah perubahan tingkah laku yang dapat diamati dan menekankan pada pengaruh
faktor eksternal pada diri individu.
Teori S-R Bond (stimulus-respon) bersumber dari psikologi keneksionisme
atau teori asosiasi dan merupakan teori pertama dari rumpun Behaviorisme.
Menurut konsep mereka, kehidupan ini tunduk kepada hukum stimulus–respon atau
aksi-reaksi. Setangkai bunga dapat merupakan suatu stimulus dan direspon oleh
mata dengan cara meliriknya. Kesan indah yang diterima individu dapat merupakan
stimulus yang mengakibatkan terespon memetik bunga tersebut. Demikian halnya
dengan belajar, terdiri atas rentetan hubungan stimulus-respon. Belajar adalah
upaya membentuk hubungan stimulus respon sebanyak-banyaknya. Tokoh utama dari
teori ini adalah Edward L. Thorndike. Ada tiga hukum belajar yang terkenal dari
Thorndike, yaitu law of readiness, law of
excercise or repetition dan law of effect (Bigge dan Trust, 1980:273).
Menurut hubungan kesiapan (law of
readiness), hubungan antara stimulus dan respons akan terbentuk atau mudah
terbentuk apabila ada kesiapan pada sistem syaraf individu. Selanjutnya, hukum
latihan (law of exercise) atau
pengulangan, hubungan antara stimulus dan respon akan terbentuk apabila sering
dilatih atau diulang-ulang. Menurut hukum akibat (law of effect) , hubungan stimulus-respon akan terjadi apabila ada
akibat yang menyenangkan.
Teori kedua dari rumpun behaviorisme adalah
conditioning atau stimulus-responce with conditioning. Tokoh utama dari teori
ini adalah John B.
Watson, terkenal dengan percobaan conditioning
pada anjing. Belajar atau pembentukan hubungan antara stimulus dan respons perlu dibantu dengan
kondisi tertentu. Sebelum anak-anak masuk kelas misalnya dibunyikan bel,
demikian setiap hari dan setiap pertukaran jam pelajaran. Bunyi bel menjadi
kondisi bagi anak sebagai tanda memulai pelajaran di sekolah. Demikian juga dengan waktu makan
pagi, siang dan makan malam dikondisikan oleh bunyi jam dan atau jarum jam.
Teori ketiga adalah reinforcement
dengan tokoh utamanya C.L.Hull. Teori ini berkembang dari teori psikologi,
reinforcement merupakan perkembangan lanjutan dari teori S-R Bond dan conditioning. Kalau pada teori conditioning,
kondisi diberikan pada stimulus, maka pada teori reinforcement kondisi diberikan pada respon. Karena anak belajar
sungguh-sungguh (stimulus) selain ia menguasai apa yang diberikan (respon) maka
guru memberi angka tinggi, pujian, mungkin juga hadiah. Angka tinggi, pujian
dan hadiah merupakan reinforcement,
supaya pada kegiatan belajarnya akan lebih giat dan sungguh-sungguh.
Contoh reinf cement dalam pembelajaran reinforcement. Di samping reinforcement positif seperti itu
dikenal pula
Peranan guru dalam proses
belajar mengajar berdasarkan teori psikologi behavioristik adalah sebagai
berikut:
a. Mengidentifikasi
perilaku yang dipelajari dan merumuskannya dalam rumusan yang spesifik.
b. Mengidentifikasi
perilaku yang diharapkan dari proses belajar. Bentuk-bentuk kompetensi yang
diharapkan dalam bidang studi dijabarkan secara spesifik dalam tahap-tahap
kecil. Penguasaan keterampilan melalui tahap-tahap ini sebagai tujuan yang akan
dicapai dalam proses belajar.
c.
Mengidentifikasi reinforce
yang memadai. Reinforce dapat berbentuk mata pelajaran, kegiatan belajar,
perhatian dan pengharagaan, dan kegiatan-kegiatan yang dipilih siswa.
d. Menghindarkan
perilaku yang tidak diharapkan dengan jalan memperlemah pola perilaku yang
dikehendaki (Y. Suyitno, 2007:106)
(Humanistik)
Tokoh teori ini adalah Abraham H. Maslow dan Carl R. Roger. Teori ini
berpandangan bahwa perilaku manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri, oleh
faktor internal, dan bukan oleh faktor lingkungan. Karena itu teori ini disebut
juga dengan “self theory”. Manusia yang mencapai puncak perkembangannya adalah
yang mampu mengaktualisasikan dirinya, mampu mengembangkan potensinya dan merasa dirinya itu utuh, bermakna, dan
berfungsi atau full functioning person (Y.
Suyitno, 2007:103).
Berbeda dengan teori belajar behavioristik, teori humanistik menolak
proses mekanis dalam belajar, karena belajar adalah suatu proses mengembangkan
pribadi secara utuh. Keberhasilan siswa dalam belajar tidak ditentukan oleh
guru atau faktor-faktor eksternal lainnya, akan tetapi oleh siswa itu sendiri.
Belajar melibatkan faktor intelektual dan emosional. Aliran ini percaya bahwa
dorongan untuk belajar timbul dari dalam diri sendiri (motivasi intrinsik).
Carl R. Roger (Y. Suyitno, 2007:103) mengemukakan prinsip-prinsip belajar
berdasarkan teori psikologi humanistik sebagai
berikut:
a. . . . .Manusia mempunyai dorongan untuk belajar, dorongan
ingin tahu, melakukan eksplorasi dan mengasimilasi pengalaman baru.
b. Belajar
akan bermakna, apabila yang dipelajari itu relevan dengan kebutuhan anak.
c.
Belajar diperkuat dengan jalan mengurangi ancaman
eksternal seperti hukuman, sikap merendahkan murid, mencemoohkan, dan sebagainya.
d. Belajar
dengan inisiatif sendiri akan melibatkan keseluruhan pribadi, baik intelektual
maupun perasaan.
e.
Sikap berdiri sendiri, kreativitas dan percaya diri
diperkuat dengan penilaian diri sendiri. Penilaian dari luar merupakan hal yang sekunder.
Bertentangan dengan teori behavioristik yang lebih menekankan
partisipasi aktif guru dalam belajar, peranan guru menurut teori belajar
behavioristik adalah sebagai pembimbing, sebagai fasilitator yang memberikan
kemudahan kepada siswa dalam belajar. Menurut Carl R. Rogers, peran guru
sebagai fasilitator dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Membantu menciptakan iklim kelas
yang kondusif dan sikap positif terhadap belajar.
b. Membantu siswa mengklasifikasikan tujuan belajar,
dan guru memberikan kesempatan secara bebas kepada siswa untuk menyatakan apa
yang hendak dan ingin mereka pelajari.
c. Membantu siswa mengembangkan
dorongan dan tujuannya sebagai kekuatan untuk
belajar.
d. Menyediakan usmber-sumber belajar, termasuk juga
menyediakan dirinya sebagai sumber belajar bagi siswa. (Y. Suyitno, 2007:104)
Guru berdasarkan
psikologi humanistik harus mampu menerima siswa sebagai seorang yang memiliki
potensi, minat, kebutuhan, harapan, dan mampu mengembangkan dirinya secara utuh
dan bermakna. Teori ini juga memandang bahwa siswa adalah sumber belajar yang
potensial bagi dirinya sendiri. Dengan demikian teori belajar ini lebih
menekankan pada partisipasi aktif siswa dalam belajar.)
REFERENSI :
Hurlock, Elizabeth. (1980). Developmental Psychology
diterjemahkan oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga
Sukmadinata, Nana Syaodih. (1997). Pengembangan Kurikulum.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Suyitno, Y. (2007). Landasan Psikologis Pendidikan dalam Landasan Pendidikan. Bandung: Sub Koordinator
MKDP Landasan Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
Woolfolk, Anita E. (1995). Educational
Psychology. Boston: Allyn and Bacon.
Yusuf, Syamsu. (2005). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.
PERTANYAAN :
1. Menurut anda bagaimana cara menjadikan kurikulum sebagai alat dalam mengembangkan kemampuan potensial yang dimiliki siswa menjadi kemampuan aktual yang dapat bertahan lama atau bahkan dapat terus berkembang dari waktu ke waktu?
2. menurut anda bagaimana kaitan antara psikologi behavioristik dengan pengembangan komponen kurikulum baik itu tujuan, isi, metode dan evaluasi?dan mohon berikan contoh
saya akan mencoba menjawab permasalahan kedua,
ReplyDeleteTeori belajar behavioristik disebut juga Stimulus-Respon Theory (S-R).
Teori S-R Bond (stimulus-respon) bersumber dari psikologi keneksionisme atau teori asosiasi dan merupakan teori pertama dari rumpun Behaviorisme. Menurut konsep mereka, kehidupan ini tunduk kepada hukum stimulus–respon atau aksi-reaksi. Setangkai bunga dapat merupakan suatu stimulus dan direspon oleh mata dengan cara meliriknya. Kesan indah yang diterima individu dapat merupakan stimulus yang mengakibatkan terespon memetik bunga tersebut. Demikian halnya dengan belajar, terdiri atas rentetan hubungan stimulus-respon. Belajar adalah upaya membentuk hubungan stimulus respon sebanyak-banyaknya.
Kaitannya dengan komponen kurikulum dimulai dari tujuan, diharapkan siswa mampu memberikan tanggapan(respon) dengan baik dari apa yang disampaikan temannya (stimulus), diharapkan siswa mampu menghubungkan teori reaksi eksoterm dan endoterm(stimulus) dengan contoh yang ada dalam kehidupan sehari-hari(respon)
komponen yang kedua yaitu isi, dengan adanya pembahasan contoh dalam kehidupan sehari-hari reaksi eksoterm dan endoterm seperti bom dan es dikutub, saat diskusi materi ini dibahas oleh teman-temannya (stimulus), maka siswa sudah mampu mngembangkan lagi beberapa contoh lain yang ada disekitarnya (respon)
sependapat dengan melda dalam menanggapi pertanyaan kedua bahwa Teori belajar behavioristik disebut juga Stimulus-Respon Theory (S-R).
DeleteTeori S-R Bond (stimulus-respon) bersumber dari psikologi keneksionisme atau teori asosiasi dan merupakan teori pertama dari rumpun Behaviorisme. Menurut konsep mereka, kehidupan ini tunduk kepada hukum stimulus–respon atau aksi-reaksi. Setangkai bunga dapat merupakan suatu stimulus dan direspon oleh mata dengan cara meliriknya. Kesan indah yang diterima individu dapat merupakan stimulus yang mengakibatkan terespon memetik bunga tersebut. Demikian halnya dengan belajar, terdiri atas rentetan hubungan stimulus-respon. Belajar adalah upaya membentuk hubungan stimulus respon sebanyak-banyaknya.
Kaitannya dengan komponen kurikulum dimulai dari tujuan, diharapkan siswa mampu memberikan tanggapan(respon) dengan baik dari apa yang disampaikan temannya (stimulus), diharapkan siswa mampu menghubungkan teori reaksi eksoterm dan endoterm(stimulus) dengan contoh yang ada dalam kehidupan sehari-hari(respon)
saya akan menjawab partanyaan pertama yaitu kurikulum merupakan “jalur pacu” atau “kendaraan” untuk mencapai tujuan pendidikan dan kompetensi lulusan dari suatu program studi. Untuk itu kompetensi yang dimiliki oleh lulusan dan kurikulum dari suatu program studi perlu dirumuskan sesuai dengan tujuan pendidikan dan tuntutan kompetensi lulusan, sehingga lulusan program studi tersebut memiliki keunggulan komparatif di bidangnya. Kurikulum bersifat khas untuk suatu program studi, sebagaimana juga kekhasan tujuan pendidikan dan kompetensi lulusan dari suatu program studi tersebut. Kesadaran penuh atas kekhasan kompetensi lulusan masing-masing program studi, diharapkan membuat para lulusan dari berbagai program studi yang berbeda dapat saling melengkapi dan bekerja sama.
ReplyDeletemenambahakan jawaban kak tri pada permasalahan ini menurut saya cara menjadikan kurikulum sebagai alat dalam mengembangkan kemampuan potensial yang dimiliki siswa menjadi kemampuan aktual yaitu kurikulum dibuat bersama antara guru dan siswa sehingga memerlukan kemampuan guru secara khusus dalam pengembangan kurikulum, demikian pula dengan siswanya haruslah siswa yang benar-benar sudah siap belajar dalam artian seluruh kompetensi pada semua tingkat kelas sebelumnya sudah harus mereka kuasai. Pada akhirnya, berbagai Model Konsep Kurikulum sebagaimana berikut ini dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan situasi dalam menyusun strategi pembelajaran:
Delete1. Kurikulum Subjek Akademik:
Berfokus pada bahan ajar yang berasal dari disiplin ilmu yang mana kedudukan guru sangat penting sebagai pakar dan model.
2. Kurikulum Humanistik:
Menekankan keutuhan pribadi, kurikulum didasarkan atas minat, kebutuhan, kemampuan siswa yaitu melalui keaktifan siswa belajar.
3. Teknologis/Kompetensi:
Menekankan penguasaan kompetensi, pembelajaran dibantu alat teknologis.
4. Rekonstruksi Sosial:
Berfokus pada masalah sosial, menekankan belajar kelompok dan kerjasama
Menurut dian dalam komponen kurikulum itu ada 4 komponen utama yaitu tujuan isi strategi dam evaluasi. Jadi otomatis kurikulum bisa sebagai alat pengembangan potensial Yg di miliki oleh siswa. Dan juga dalam kurikulum tentu ada pandangan hidup yg mencakup secara keseluruhan baik dari manusia lingkungan masyarakat yg terlibat dalam kurikulum tersebut. Salah satunya yaitu landasan psikologi. Dimana pendidikan merupakan perubahan perilaku peserta didik. Atau psikologi disini maksudnya mempelajarin tingkal laku manusia dalam hubungan dengan lingkungan dan jg berkaitan dengan mental. Landasan psikologi dalam kurikulum disini untuk memperhatikan dan mempertimbanhkan aspek peserta didik dalam pelaksanaan kurikulum ssehingga nantinya pada saat pelaksanaan kurikulum apa yang menjadi tujuan kurikulum akan tercapai secara optimal.
ReplyDeleteCara menjadikan kurikulum sebagai alat dalam mengembangkan kemampuan potensial yang dimiliki siswa menjadi kemampuan aktual yang dapat bertahan lama atau bahkan dapat terus berkembang dari waktu ke waktu.
DeleteSaya sependapat dengan dian, kembali kepada prinsip kurikulum yaitu relevansi dimana Prinsip Relevansi yaitu pengembangan kurikulum yang meliputi tujuan, isi, dan sistem penyampaiannya harus sesuai (relevan) dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi pengembangan kurikulum itu sudah dirancang agar peserta didiknya mampu berkembang dari potensial menjadi aktual dan tidak ketinggalan jaman lalu dapat bersaing secara terus menerus karena seperti kata dian dalam mengembangkan kurikulum juga berlandaskan psikologis peserta sehingga yang akan dibentuk nanti setelah pembelajaran yang berkaitan dengan kemampuan peserta.
Behaviorisme muncul dari adanya pandangan bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat. Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang bersifat nyata yang dapat dilihat dan diamati.Menurut teori ini kehidupan tunduk pada hukum S – R (stimulus – respon) atau aksi-reaksi. Menurut teori ini, pada dasarnya belajar merupakan hubungan respon – stimulus. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus – respon seoptimal mungkin.
ReplyDeletesehingga hubunganny dengan komponen kurikulum yaitu sebagai landasan psikologi Behaviorisme lebih tertuju ke komponen teknik/metode dalam kurikulum
saya sependapat dengan kak esa bahwa keterkaitan antara behaviouristik dengan komponen kurikulum yaitu komponen kurikulum yaitu sebagai landasan psikologi Behaviorisme lebih tertuju ke komponen teknik/metode dalam kurikulum
Delete
ReplyDeleteSaya sependapat dengan teman-teman di atas, kembali kepada prinsip kurikulum yaitu relevansi dimana Prinsip Relevansi yaitu pengembangan kurikulum yang meliputi tujuan, isi, dan sistem penyampaiannya harus sesuai (relevan) dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi pengembangan kurikulum itu sudah dirancang agar peserta didiknya mampu berkembang dari potensial menjadi aktual dan tidak ketinggalan jaman lalu dapat bersaing secara terus menerus karena seperti kata dian dalam mengembangkan kurikulum juga berlandaskan psikologis peserta sehingga yang akan dibentuk nanti setelah pembelajaran yang berkaitan dengan kemampuan peserta.
saya sependapat dengan kakak rahmah bahwa kembali kepada prinsip kurikulum yaitu relevansi dimana Prinsip Relevansi yaitu pengembangan kurikulum yang meliputi tujuan, isi, dan sistem penyampaiannya harus sesuai (relevan) dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Deletemenurut saya kurikulum sudah sebagai alat dalam mengembangkan kemampuan potensial yang dimiliki siswa menjadi kemampuan aktual namun didalam kurikulum hanya poin" besarnya saja. untuk benar" kita dapat mengembangkan kemampuan siswa maka dapat kita masukkan ke tujuan instruksional
ReplyDeletesaya sependapat dengan kak Rahmah "kembali kepada prinsip kurikulum yaitu relevansi dimana Prinsip Relevansi yaitu pengembangan kurikulum yang meliputi tujuan, isi, dan sistem penyampaiannya harus sesuai (relevan) dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi pengembangan kurikulum itu sudah dirancang agar peserta didiknya mampu berkembang dari potensial menjadi aktual dan tidak ketinggalan jaman lalu dapat bersaing secara terus menerus karena seperti kata dian dalam mengembangkan kurikulum juga berlandaskan psikologis peserta sehingga yang akan dibentuk nanti setelah pembelajaran yang berkaitan dengan kemampuan peserta".
ReplyDeletepada setiap komponen kurikulum, memiliki fungi dan tujuan nya masing-masing. nah pada ssetiap komponen ini bisa kita sisipkan apa yang menjadi kebutuhan pada saat kurikulum itu dikembangkan. sesuai dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
ReplyDelete